Mobil listrik semakin menarik perhatian beberapa waktu terakhir ini. Ada pihak bependapat mobil listrik adalah kendaraan ramah lingkungan yang akan menggantikan mobil konvensional di masa depan. Ada pula yang berpendapat mobil listrik tidak lebih ramah lingkungan dari pada mobil konvensional. Apakah benar mobil listrik ramah lingkungan? Adakah dampak buruk terhadap lingkungan?
Membandingkan dampak lingkungan mobil listrik dengan mobil berbahan bakar konvensional (bensin dan solar) melibatkan berbagai macam parameter. Untuk membandingkannya, diperlukan analisa siklus hidup emisi gas rumah kaca (lifecycle greenhouse gas analysis) dari tiap jenis kendaraan.
Analisa siklus hidup emisi gas rumah kaca meliputi seluruh emisi gas rumah kaca dari awal produksi sampai mobil berhenti masa operasionalnya (cradle to grave emission). Dengan kata lain, emisi yang diperhitungkan tidak hanya saat mobil berlalu lalang di jalanan. Mencakup, semua proses produksi, mulai dari proses penambangan bahan material (raw material), sampai akhir masa pakai.
Emisi mobil listrik vs mobil konvensional
Banyak studi yang membahas dampak lingkungan dari mobil listrik, mobil konvensional dan juga mobil jenis lain, termasuk mobil hibrida (hybrid). Berbagai macam asumsi dan pendekatan ilmiah dipakai. Untuk artikel kali ini kita akan mengambil dua contoh studi analisa siklus hidup emisi gas rumah kaca dari beberapa jenis penggerak mobil. Pertama, studi dari International Energy Agency (IEA) yang berjudul “Global EV Outlook 2019”. Kedua adalah studi dari International Council on Clean Transportation (ICCT), berjudul “Effect of battery manufacturing on electric vehicle life-cycle greenhouse gas emissions”. Kedua hasil studi tersebut dapat diunduh bagi pembaca yang tertartik membaca secara detil.
Hasil studi dari ICCT dapat dilihat di Gambar 1. Studi tersebut membandingkan mobil pembakaran dalam (ICE=Internal Combustion Engine), yaitu mobil berbahan bakar bensin dengan mobil listrik (BEV=Battery Electric Vehicle). Asumsi yang dipakai adalah jarak tempuh 150000 km. Studi ini membandingkan emisi pada beberapa negara berbeda di eropa. Studi ini difokuskan pada mobil berukuran sedang atau menengah (mid-size car). Adapun error bar pada grafik BEV adalah emisi pada mobil ukuran kecil dan besar [sumber].
Gambar 2 adalah data yang direproduksi dari hasil studi IEA. Hasil studi ini membandingkan berbagai type penggerak mobil. Asumsi yang dipakai diantaranya intensitas emisi CO2 rata-rata untuk pembangkit listrik dunia adalah 518 gram CO2 ekivalen per KWh. Sedangkan asumsi jarak tempuh yang dipakai sama dengan studi ICCT yaitu 150000. Untuk lebih detail mengenai asumsi-asumsi yang lain, dapat dibaca langsung pada artikel ini.
Mengapa hasil studi dari dua data tersebut berbeda?
Perbedaan terkait dari parameter dan asumsi yang digunakan untuk studi.
Apa itu HEV, PHEV, FCEV?
HEV= Hybrid Electric Vehicle (gabungan ICE dan BEV).
PHEV=Plig-in Hybrid Vehicle (gabungan ICE dan BEV) dan baterai dari PHEV bisa juga diisi seperti pada BEV umumnya.
FCEV= Fuel Cell Electric Vehicle, mobil listrik dimana energi tidak tersimpan dalam baterai melainkan gas hidrogen bertekanan tinggi. Gas hydrogen dan udara (oksigen) dilewatkan ke fuel cell untuk menghasilkan listrik dan air sebagai produk dari reaksi.
Apa itu fuel cycle, tailpipe?
Fuel cycle emission dalam bahasan ini adalah emisi total dari bahan bakar sebelum digunakan untuk pembakaran. Pada mobil konvensional (ICE), fuel cycle meliputi ekploitasi minyak bumi, penyulingan, transportasi sampai masuk ke tangki bahan bakar (sebelum digunakan). Untuk mobil listrik fuel cycle emission meliputi proses penambangan (batubara, gas alam, minyak bumi), sampai pada pembakaran pada pembangkit listrik. Tailpipe emission merupakan emisi hasil pembakaran bahan bakar yang keluar melalui knalpot. Oleh karena itu, nilai emisi ini adalah ‘nol’ untuk mobil listrik dan mobil fuel cell.
Mengapa total emisi berbeda untuk tiap negara?
Pada Gambar 1 terlihat jelas bahwa perbedaan emisi antar negara tergantung pada parameter siklus bahan bakar (fuel cycle). Siklus ini dihitung berdasarkan intensitas emisi CO2 per kWh dari sumber listrik masing masing negara untuk mengisi baterai. Norwegia, pada kasus ini memiliki ‘nol’ fuel cycle emission karena hampir semua listrik di negara ini bersumber dari energi terbarukan. Di Norwegia, hanya 2% listrik dihasilkan dari gas alam (natural gas) dan digunakan tidak sebagai pembangkit listrik utama [Sumber].
Emisi dari pembuatan baterai mobil listrik
Baterai adalah komponen utama mobil listrik. Emisi terkait pembuatan baterai dimulai sejak proses penambangan bahan baku utama baterai. Bahan baku utama baterai, sebut saja Lithium, Cobalt dan logam tanah jarang (rare earth element) lainnya. Penambangan elemen-elemen tersebut mempunyai dampak besar bagi lingkungan. Proses penambangan memerlukan energi tidak sedikit, yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Penambangan juga berpotensi merusak lingkungan. Proses ekstraksi dan pemurnian mineral juga memerlukan energi dan menghasilkan limbah berbahaya bagi lingkungan. Sampai pada transportasi bahan baku dan proses produksi baterai.
Apakah proses pembuatan baterai bisa lebih ramah lingkungan?
Bisa. Perbaikan di semua lini proses pembuatan baterai dapat dilakukan. Semua dapat dilakukan misalnya dengan meningkatkan efisiensi penambangan, proses ekstraksi, daur ulang baterai dan sebagainya. Kunci utama ada pada riset dan inovasi.
Mobil listrik di Indonesia
Sebagai perbandingan, penulis menghitung total emisi mobil listrik di Indonesia dan disajikan pada histogram terakhir Gambar 2. Asumsi yang digunakan adalah emisi CO2 per kWh Indonesia saat ini 804 gram CO2 ekivalen per kWh [sumber]. Parameter yang lainnya diasumsikan sama. Nilai emisi ini berdasarkan bahwa pengisian baterai dilakukan dengan menggunakan suplai listrik nasional. Dengan semua asumsi dan data yang ada, penggunaan mobil listrik di Indonesia ternyata lebih ramah lingkungan daripada mobil konvensional. Namun, tidak lebih baik dari jenis lain (HEV, PHEV, FCEV). Dari perhitungan sederhana diatas, terlihat porsi emisi fuel cycle yang jauh lebih besar dari emisi baterai. Emisi tersebut tentunya dapat ditekan seiring komitmen pemerintah untuk beralih ke pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan. Apabila konsumen pengguna mobil listrik mengisi baterai dengan listrik dari tenaga surya, tentunya akan memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan.
Dampak lingkungan mobil listrik di masa depan
Sumber utama emisi mobil listrik, dilihat dari siklus emisinya adalah pada baterai dan darimana sumber listrik yang digunakan berasal. Dampak lingkungan dapat lebih ditekan dengan mengembangkan baterai dan proses produksinya yang lebih ramah lingkungan dan efisien. Di sisi lain, proses transisi dari bahan bakar fosil ke energi baru terbarukan juga memegang peranan penting. Mobil listrik berada pada track yang benar untuk masa depan yang berkelanjutan.
Mengapa harga mobil listrik mahal?
Baterai adalah komponen utama dengan pos biaya terbesar. Namun, teknologi baterai juga masih bisa berkembang lebih lebih efisien. Data dari Bloomberg misalnya, pada tahun 2013, harga battery pack mobil listrik adalah 668 USD per kWh dan turun menjadi 137 USD per kWh. Hampir 5 kali lipat lebih murah. CEO Tesla, Elon Musk, pada Battery Day 22 September 2020 mengumumkan beberapa terobosan untuk menekan biaya produksi baterai. Tesla tengah melakukan upaya untuk menurunkan cost per kWh menjadi setengahnya. Selain itu, Tesla juga fokus untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan kualitas produksi mobilnya. Tentunya ini akan sangan berdampak. Riset dan pengembangan baterai menjadi salah satu kunci penting untuk masa depan mobil listrik.
Sebagai contoh yang lain, Nissan LEAF generasi pertama tahun 2011 dijual seharga rata-rata 33,000 USD dengan kapasitas baterai hanya 24kWh dan jarak tempuh sekitar 117 km. Sementara itu, generasi tahun 2021 (10 tahun kemudian) dapat dibeli di range harga mulai 31,670 USD dengan kapasitas baterai mulai dari 40 kWh dan jarak tempuh sekitar 240km.
Saat ini market share mobil listrik masih sangat kecil dibanding mobil konvensional. Kompetisi antar produsen mobil yang kian tumbuh juga berakibat pada harga pasaran yang kian kompetitif.
Bagaimana dengan masa depan mobil konvensional?